Menjaga Stabilisasi Harga Produk Ayam Ras

Industri perunggasan mengalami pasang surut yang cukup drastis di 2023. Hal tersebut disampaikan oleh Ketua Umum Gabungan Perusahaan Pembibitan Unggas (GPPU) Achmad Dawami dalam Seminar Outlook Bisnis Peternakan di Cibubur (21/11). Ia mengutip beberapa artikel dan data-data dari berbagai sumber yang mengatakan bahwa memang 2023 merupakan tahun yang kurang ramah bagi industri perunggasan.

“Baru tahun ini di berbagai media bisa kita baca dan lihat bahwa integrator mengalami kerugian. Ini kan juga pasti akan mengganggu yang di bawah-bawahnya,” tutur Dawami. Menurutnya dari berbagai sumber yang ia terima, secara umum memang ekonomi global terancam mengalami resesi di 2023 yang akhirnya berimbas ke industri perunggasan.

Ada tiga hal menurut Dawami yang menyebabkan hal tersebut, yakni suku bunga yang tinggi, inflasi yang tak terkendali, dan pelemahan ekonomi global secara umum. Lebih lanjut dia menjelaskan mengenai fenomena menurunnya daya beli di masyarakat yang diakibatkan oleh banyak sebab. Penurunan daya beli ini menurut Dawami sangat berbahaya, karena protein hewani yang akan dikurangi konsumsinya oleh masyarakat ketimbang rokok. Ketika konsumsi menurun, otomatis industri di hulu akan terancam.

Padahal menurut dia, Indonesia masih dihantui masalah klasik terkait over supply pada broiler. Dimana ia menyebut berdasarkan data yang didapat, Indonesia mengalami over supply daging ayam sebanyak 87 ribu ton di 2023, dan berpotensi meningkat ke angka 676 ribu ton di 2024. Selain daging ayam, Indonesia juga masih mengalami surplus produksi telur sebesar 279 ribu ton di 2023, dan diperkirakan akan meningkat menjadi 596 ribu ton di 2024.

Hal ini kemungkinan akan diperparah di tahun-tahun mendatang dikarenakan hasil impor telur tetas GPS pada dua tahun yang lalu akan berimbas di 2024. Ia juga memperkirakan over supply akan terjadi di 2026 mendatang, pasalnya jumlah GPS yang beredar juga mengalami over supply sehingga DOC FS broiler dan layer yang beredar lebih banyak. Oleh karenanya ia mengajak pemerintah untuk kembali berunding, menentukan strategi mencegah “kiamat perunggasan” beberapa tahun ke depan apabila kondisi daya beli tetap seperti sekarang.

Dawami juga mendorong kepada para pelaku industri untuk melakukan hilirisasi. Pasalnya, pola penjualan unggas di dunia kini sudah bukan didominasi dalam bentuk karkas, melainkan produk olahan. “Kita masih suka menjual dalam bentuk whole carcass, padahal di luar negeri 60% daging ayam itu dijual dalam bentuk value added product. Karena kita malas keluar uang untuk investasi, jadi ya begini. Di satu sisi kalau karkas lagi banyak, banjir,” ucap dia.

Dawami juga mengingatkan kepada pemerintah agar dapat menjaga stabilisasi harga produk ayam ras di tingkat produsen maupun konsumen. Pemerintah juga diminta melakukan banyak intervensi terutama dalam jangka panjang untuk mengantisipasi kemungkinan terburuk, ditambah pentingnya kolaborasi dan konsolidasi dari semua pemangku kepentingan di tengah era disrupsi dan ketidakpastian.

Dikutip dari  Majalah Infovet (www.majalahinfovet.com)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *