Urgensi Konsolidasi dan Kolaborasi Perunggasan

Kita harus sadar diri, bahwa perunggasan merupakan sektor yang penting dan strategis. Di mana sektor ini merupakan penyumbang terbesar sumber konsumsi protein hewani nasional dengan angka sekitar 70 %. Dengan perannya tersebut, maka sudah sepatutnya sektor ini menjadi sebuah industri yang dikelola secara baik.

Era disrupsi telah membawa banyak perubahan di segala lini usaha. Hal ini secara otomatis menuntut para pelaku perunggasan untuk melakukan cara-cara baru, apabila tidak ingin tertinggal. Konsolidasi dan kolaborasi merupakan salah satu hal vital yang perlu dilakukan.

Di lain sisi, saat ini perubahan pola usaha terjadi hampir di segala lini. Pasalnya, secara global dunia sedang menghadapi era disrupsi, yang tentu juga menjadi tantangan luar biasa bagi dunia perunggasan. Era disrupsi adalah era di mana terjadinya perubahan masif yang mengubah sistem dan tatanan bisnis, akibat dari munculnya berbagai inovasi dan kreativitas di masyarakat.

Apalagi semenjak pandemi Covid-19, telah menyebabkan banyak industri harus mengubah cara pandang bisnisnya. Dalam perunggasan, beberapa disrupsi yang terjadi adalah penggunaan robot atau teknologi untuk mempercepat semua proses. Mulai dari manajemen peternakannya, hingga distribusi, di mana kita dapat trek transportasi yang digunakan.

Industri juga semakin terintegrasi, terjadi pertarungan antara pikiran-pikiran dan praktik lama dan pikiran-pikiran baru, munculnya fake meat, serta perubahan pada transportasi dan pakan. Dengan berbagai fenomena tersebut, otomatis akan menuntut para pelaku perunggasan untuk melakukan cara-cara baru, apabila tidak ingin tertinggal.

Penulis menekankan bahwa perlu adanya konsolidasi dan kolaborasi untuk dapat menghadapi tantangan di era ini. Konsolidasi dan kolaborasi ini harus dimaknai secara luas, bukan hanya antar anggota asosiasi semata, namun juga semua pihak yang berkecimpung di sektor perunggasan. Baik di sisi hulu, on farm, hilir, akademisi, pemerintah hingga masyarakat secara umum harus terlibat. Tentu dengan tugas masing-masing.

Dalam tema konsolidasi dan kolaborasi perunggasan ini, penulis melihat bahwa dimulai dari pemerintah, di mana mempunyai tanggung jawab untuk menyediakan sumber gizi yang aman, sehat, utuh, dan halal (ASUH) serta terjangkau baik secara distribusi maupun harganya bagi masyarakat, sesuai UU pangan no 18 tahun 2012. Untuk itu, penulis selalu mengingatkan bahwa dalam mengkonsumsi ayam bukanlah semata untuk kenyang, namun bagaimana masyarakat mendapatkan proteinnya.

Kemudian untuk menyediakan pangan dengan gizi protein yang baik tersebut, tentu akan melibatkan banyak pihak. Di mana merupakan proses panjang demi menjaga protein yang terkandung tidak terbuang dan rusak, mulai dari memproduksi day old chick (DOC), pemeliharaan, pascapanen hingga siap dihidangkan di atas meja makan.

Selanjutnya, salah satu langkah agar protein tidak terbuang adalah dengan memperbanyak dan mengembangkan Rumah Potong Hewan Unggas (RPHU) serta industri further processing. Hal ini dikarenakan ayam dari farm yang langsung ke RPHU, jelas akan melewati mata rantai yang lebih pendek dan akan masuk ke rantai dingin dengan standar teknis dan NKV. Itu semua untuk menjaga kelanggengan dari kualitas dan nilai gizi dari produk tersebut.

Hal ini juga selaras dengan Permentan nomor 32 tahun 2017, di mana pemerintah lebih ketat dalam melaksanakan kriteria penilaian pihak yang dapat melakukan impor GPS, seperti penguasaan RPHU & rantai dingin, pemotongan LB di RPHU, performa produksi, realisasi ekspor, produk olahan, kemitraan dan lain sebagainya. Untuk itu para pelaku perunggasan sudah saatnya mulai berpikir dan fokus ke arah sini.

Lebih lanjut, hal ini juga merupakan sebuah langkah untuk meningkatkan efisiensi usaha. Pasalnya untuk dapat bertahan di era disrupsi ini diperlukan upaya efisiensi di segala lini perunggasan. Baik pakan, OVK, budi daya, hingga bagaimana memotong ayam juga harus efisien. Hal ini merupakan sebuah keniscayaan. Selain itu, untuk mendukung efisiensi para pelaku perunggasan juga perlu memotong mata rantai distribusi sependek mungkin, sehingga sampai konsumen produk yang dijual akan best quality and low price.

Selain itu, penulis juga berharap semua stakeholder dapat turut berbuat dan berpartisipasi, bagaimana menyadarkan masyarakat bahwa konsumsi protein hewani itu penting dan ayam merupakan yang termurah, sehingga tingkat konsumsi ayam nasional akan lebih tinggi. Oleh sebab itu, edukasi dan sosialisasi yang konsisten untuk merangsang kenaikan konsumsi di masyarakat harus terus digalakkan.

Terakhir, semua langkah ini bisa terwujud dengan adanya konsolidasi dan kolaborasi antar semua stakeholder perunggasan. Bukan saatnya lagi berusaha sendiri, apalagi di tengah arus disrupsi yang sedang terjadi.

Achmad Dawami, Ketua Umum Gabungan Perusahaan Pembibitan Unggas

Sumber artikel: Majalah Poultry Indonesia (www.poutryindonesia.com)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *