Tantangan Perunggasan Indonesia di Era Multipolar

Perubahan iklim global, pasca pandemi Covid-19, dan perang Rusia-Ukraina telah membuat tatanan baru di dalam rantai pasok pangan global yaitu multipolar. Negara yang tadinya memiliki kuasa atas produksi pangannya tiba-tiba berubah karena setiap negara harus memenuhi kebutuhan dalam negerinya terlebih dahulu, termasuk di sektor peternakan dan perunggasan.

Saat setiap negara memenuhi kebutuhan pangan dalam negerinya terlebih dahulu justru bisa jadi tantangan sekaligus peluang bagi Indonesia. Sejarah dan fakta di lapangan menunjukkan Indonesia justru kesulitan ketika dunia kelebihan pasokan pangan. Sebaliknya kalau pasokan pangan dunia kekurangan, Indonesia bisa jadi eksportir.

Di industri peternakan khususnya perunggasan, Indonesia sering jadi korban tekanan impor ayam saat dunia kelebihan pasokan. Saat ini justru terjadi kebalikannya, ketika Malaysia menghentikan pasokan ayamnya ke Singapura. Peluang ini langsung ditangkap perusahaan Indonesia dengan mengekspor produk unggasnya ke Singapura. Saat ini banyak negara sulit mengekspor produk ayamnya. Brazil, dan Amerika Serikat, misalnya, tidak lagi mudah mengekspor ayamnya. Sulitnya mendapatkan kontainer berpendingin, naiknya bahan bakar dan biaya transportasi telah membuat pasokan lokal tumbuh pesat.   

Dengan kondisi itu, para pelaku industri perunggasan harus menata ulang bisnisnya.

Pertama, menata ulang seluruh sistem dan usaha agribisnisnya. Perunggasan yang masuk dalam rantai pasok nasional dan global strateginya harus berbeda dan dibedakan. Kalau mau masuk dalam rantai pasok global harus menguatkan strateginya sesuai dengan tuntutannya. Membangun ekosistem perunggasan terintegrasi. Mengintegrasikan sub sistem hulu, on farm, dan hilir secara efisien, efektif, terbuka, transparan, lebih kompetitif dan berupaya memenuhi tuntutan Sustainable Development Goals (Tujuan Pembangunan Berkelanjutan).

Sementara untuk memenuhi pasokan rantai pangan domestik dan nasional, para pelaku harus bisa menyeimbangkan efisiensi teknis, ekonomis, bisnis, dan efisiensi sosial. Upaya untuk mengembangkan peternakan UKM (Usaha Kecil Menengah) unggas harus terus dilakukan. Keberadaan peternakan unggas UKM harus jadi bagian tak terpisahkan dalam ekosistem perunggasan nasional. Hal ini jadi tugas utama pemerintah untuk menjaga kesetimbangan usaha kecil, mikro, menengah, dan besar supaya tumbuh saling menguntungkan bukan saling meniadakan satu sama lain.    

Kedua, perlunya menata ulang rantai pasok bahan baku pakan supaya lebih kompetitif dan berkelanjutan. Menata ulang agar produk kelapa sawit (CPO, bungkilnya) bisa jadi bahan baku pakan unggas dan memastikan semua kebutuhan sumber protein, karbohidrat, lemak, vitamin, mineral dan obat-obatan tercukupi. Supaya makin kompetetif, membebaskan impor semua bahan baku sistem agribisnis unggas yang ditujukan untuk ekspor. Memastikan bahwa jagung petani yang dipasok untuk industri perunggasan harus kompetitif dan berkelanjutan.   

Ketiga, sistem perkandangan harus memenuhi tuntutan terkini, mensejahterakan ternaknya, dan menerapkan good farming practices yang terus berkembang.

Keempat, untuk menjamin keamanan dan ketahanan pangan maka perlu ada program ketertelusuran (traceability) dari hulu, on farm sampai hilir, sehingga ada kejelasan rantai pasoknya. Tanpa ada ketertelusuran, produk telur dan ayam tidak boleh bebas masuk pasar. Dengan begitu, produk unggas dan turunannya dari luar negeri pun harus ada ketertelusurannya.

Kelima, berkaitan dengan perubahan iklim dunia, maka perlu juga mulai mempertimbangkan produk unggas low carbon footprint and low water footprint (berjejak karbon rendah dan berjejak air rendah). Indonesia berpotensi menghasilkan produk unggas rendah karbon.    

Saat ini peran Indonesia masuk dalam rantai pasok perunggasan global makin besar. Dengan penduduk sekitar 280 juta jiwa, peran Indonesia juga makin penting. Jika masa lalu Indonesia dikenal sebagai importir besar bahan baku pakan dan bibit unggas, maka sudah saatnya, harus siap, menyiapkan dengan serius, sebagai eksportir produk akhir unggas yang bernilai tambah, lebih berkualitas dan makin berdaya saing karena lebih ramah lingkungan.

Dikutip dari  artikel Prof. Rachmat Pambudy, Guru Besar Pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB University di Majalah Trobos Livestock (www.troboslivestock.com)