Pentingnya Keseimbangan Supply dan Demand Broiler

Seperti diketahui bahwa industri peternakan terutama ayam ras pedaging (broiler) mengalami problematika yang cukup serius. Apalagi sejak merebaknya penyakit Covid–19 pada tahun 2020-2022 yang membuat penurunan drastis konsumsi ayam pedaging sehingga menyebabkan hampir lumpuhnya usaha penunjang perputaran ekonomi mulai dari usaha UMKM sampai dengan perusahan lainnya pada masa pandemi.

Dengan dimulainya masa endemi, dimana kesadaran masyarakat akan imunitas tubuh semakin meningkat. Dan salah satu penyangga imunitas tubuh adalah tercukupinya konsumsi protein khususnya protein hewani. Maka perlu disadari oleh seluruh stakeholder perunggasan, inilah saatnya untuk mengembalikan pertumbuhan usaha dengan cara kolaborasi dengan bidang usaha yang terkait baik secara langsung maupun tidak langsung.

Sektor perunggasan merupakan salah satu sektor penting agar masyarakat bisa tercukupi konsumsi protein hewani untuk kesehatan dan kecerdasan rakyat Indonesia. Kita semua harus memahami bahwa produk perunggasan merupakan produk yang menyokong konsumsi protein hewani nasional sebesar 70%, sehingga menjadikan sektor ini sangat penting dan strategis. Untuk itu, para pelaku industri perunggasan harus sangat berhati – hati dalam mengelola bisnis ini dari hulu hingga hilir.

Tak hanya itu, perlunya perlindungan dalam hal regulasi maupun kebijakan pemerintah yang dapat membuat industri perunggasan semakin berkembang serta kondusif. Dalam hal ini penulis sebagai ketua umum Gabungan Perusahaan Pembibitan Unggas (GPPU) Indonesia merasa bahwa urusan pengelolaan bibit unggas merupakan hal yang sangat krusial, dimana awal mula dari bisnis/industri perunggasan dimulai dari bibit berupa Day Old Chick (DOC/anak ayam umur sehari).

Namun, penulis merasa saat ini sedang terjadi transisi, dimana banyak sekali aturan – aturan pemerintah yang sedang dalam masa penyesuaian. Sebagai contoh yang paling hangat saat ini adalah terkait urusan impor Grand Parent Stock. Penulis sadar memang pemerintah merupakan pengendali, yang memastikan berjalannya Undang – Undang tentang pangan, sehingga perlunya pemerintah dapat menjaga keseimbangan antara ketersediaan dan permintaan.

Telah diinformasikan bahwa, izin terkait importasi GPS yang biasanya (juga kesepakatannya) keluar setiap akhir tahun, namun untuk tahun ini (2023) baru direalisasikan pertengahan Februari. Tentu hal ini akan membawa dampak kontinuitas produksi untuk tahun – tahun mendatang. Seperti diketahui bahwa sebaiknya kedatangan GPS dimulai sejak awal tahun dan secara berkelanjutan setiap bulannya bisa merata dalam jumlah/kuantitasnya.

Memang, mengatur National National Stock Replacement perlu koordinasi yang dikoordinir pemerintah dan perlu disupport oleh para industriawan/pengusaha dibidang perunggasan. Agar di kemudian hari produksi PS dan FS nya tidak fluktuatif terlalu tajam yang dapat membuat ketidakstabilan terutama dalam hal harga. Dengan demikian untuk di tahun – tahun mendatang penulis berharap agar setiap akhir tahun sudah ada keputusan tentang impor GPS.

Penulis dan anggota asosiasi sebelum direalisasikannya kepastian impor GPS pada pertengahan Februari yang lalu telah berulang kali mencari informasi perihal izin impor yang masih belum disahkan saat itu, dengan terus berkoordinasi pada pemerintah yaitu Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH). Penulis juga memberikan masukan akan dampak yang dapat terjadi di masa yang akan datang, apabila impor GPS mundur dari jadwal yang telah direncanakan Yang mana akan dapat menimbulkan masalah tentang jumlah produksi baik Parent Stock (PS) maupun Final Stock (FS) di kemudian hari, apalagi jika kedatangan GPS tidak merata (perbedaan jumlahnya terlalu tajam) setiap bulannya.

Informasi yang penulis dapatkan, permintaan para importir GPS jumlahnya sangat jauh (lebih) dibandingkan dengan perencanaan pemerintah untuk keseimbangan antara demand dan atau konsumsi daging ayam dengan jumlah produksi FS nantinya. Hal ini memang disadari menimbulkan dilematis untuk pengambilan keputusan berapa jumlah GPS yang diperlukan agar tidak menjadi shortage dan atau sebaliknya yaitu oversupply yang berlebihan. Yang mana jika terjadi shortage akan mengancam ketersediaan pangan daging ayam. Sedangkan apabila terjadi oversupply, akan mengancam keberlangsungan industri perunggasan di Indonesia, yang mana industri perunggasan di Indonesia melibatkan tidak kurang dari 10 juta tenaga kerja yang tersebar, terutama di daerah – daerah pelosok sebagai alternatif usaha di daerah tersebut. Yang otomatis akan dapat membantu peningkatan pendapatan per kapita yang lebih merata serta mengurangi urbanisasi.

Untuk diketahui bersama, saat ini terdapat 22 perusahaan yang mengajukan impor GPS broiler, sedangkan perbandingannya ketika awal tahun 2018 itu hanya sekitar 14 perusahaan. Terlepas dari banyaknya perusahaan baru yang ingin mengimpor GPS, tugas dari pemerintah adalah memastikan dan menjaga keseimbangan Supply and Demand. Saat ini terdapat beberapa opsi yang mungkin bisa diprediksi terkait dengan izin impor yang telah direalisasikan. Dimana informasinya jumlahnya lebih besar dari tahun 2022 sekitar 30.000 GPS yang  berarti bahwa untuk pertengahan tahun 2024 dan 2025 ke atas akan ada pertambahan jumlah produksi DOC secara nasional. Hal ini sudah harus diantisipasi sejak sekarang, bagaimana caranya? Tak lain adalah dengan kerja sama antara pemerintah, pengusaha perunggasan, dan bidang pendidikan dapat melakukan usaha untuk meningkatkan konsumsi protein hewani khususnya daging broiler.

Akhir kata, saat ini memang sedang terjadi banyak perubahan di industri perunggasan, baik pola produksi di industri perunggasan itu sendiri maupun pola konsumsi di masyarakat, sehingga semua stakeholder industri perunggasan harus bisa mengikuti perubahan dengan membuat terobosan – terobosan dalam mengantisipasi kemauan masyarakat konsumen yang terjadi. Penulis berharap pemerintah dapat sebagai lokomotif utama dalam mengembangkan industri dalam negeri. Dengan menggandeng para pelaku usaha tentang pentingnya konsumsi daging ayam untuk masyarakat Indonesia. Terutama untuk daerah – daerah pelosok yang masih memiliki prevalensi stunting yang tinggi, pemerintah memiliki peran yang penting untuk mendistribusikan produk – produk tersebut ke daerah – daerah yang membutuhkan.

Kita perlu menyadari bahwa industri perunggasan bisa tumbuh jika didukung dengan konsumsi yang meningkat di seluruh penjuru lapisan masyarakat dengan menyediakan produk yang berkualitas. Upaya lainnya yang perlu dilakukan agar produk asal unggas bisa dinikmati oleh masyarakat dengan harga yang terjangkau adalah dengan memotong mata rantai distribusi. Para peternak diharapkan dapat menjual ayamnya sedekat mungkin ke konsumen akhir, sehingga diharapkan harga jual livebird dan daging ayam akan bisa lebih kompetitif. Perlu disadari juga bahwa tujuan konsumsi daging ayam adalah untuk mendapatkan asupan protein, sehingga perlu memperhatikan proses dari farm (produksi) sampai ke meja makan konsumen dilakukan sebaik serta sehigienis mungkin, melalui proses pemotongan yang terstandar sesuai ketentuan pemerintah (NKV dan lainnya), pengemasan, pendistribusian hingga proses lain hingga berada di tangan konsumen.

Dikutip dari  artikel Achmad Dawami, Ketua Umum Gabungan Perusahaan Pembibitan Unggas (GPPU) di Majalah Poultry Indonesia (www.poultryindonesia.com)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *